Minggu, 27 Januari 2013

Air Mata Bunda

Hiks hiks

Aku mencari dari mana suara tangisan itu berasal. Aku mencari di setiap ruangan yang ada di rumahku. Ruang keluarga, dapur, balkon tapi tak ku temui juga. Ada satu reangan yang belum aku cek, yaitu kamar orang tuaku. Tapi aku tak berani untuk masuk. Aku hanya mengecek dari depan pintu kamar orang tuaku. Ternyata benar suara itu adalah suara tangisan ibuku. Akhirnya aku beranikan diri untuk mengintip dari balik pintu. Aku melihat ibuku sedang menangis di atas tempat tidurnya. Aku rasa ibu sedang berusaha untuk menutupi ini dari anak-anaknya. Cara menangisnya pun sangat tak wajar bagiku. Giginya menggigit bibirnya sekuat tenanga. Ibu lebih memilih bibirnya di banding anak-anaknya mengetahui masalah ini. Hatiku rasanya teriris dan sesak melihat ibu seperti ini. Ibu membutuhkan seseorang di sampingnya. Tapi aku terlalu terlalu jaim untuk melakukannya.

Anak apa aku ini yang tak bisa berada di sampingnya, tak bisa mendengarkan keluh kesahnya. Untuk apa aku ada di bumi sedangkan aku tak bisa melakukan apa-apa untuk ibuku sendiri. Ingin rasanya aku memaki orang yang telah membuat ibuku menangis.Tapi aku tak bisa melakukannya karena permintaan dari ibuku. Ibuku terlalu sabar. Sempat aku melontarkan kata yang aku sendiri tak sadar aku telah melontarkan kata-kata itu.

“Bu, kurasa kita tinggalkan saja dia. Dia tak pantas ibu urus. Sungguh dia orang yang tak tau berterimakasih.” kata itu begitu saja meluncur dari mulutku. Aku rasa aku saudah tak tahan melihat ibuku yang selalu menangis perih selama bertahun-tahun. “lebih baik kita pergi dari rumah ini. Taka pa kita tinggal di tempat yang sederhana. Di rumah itu hanya ada ibu, ayah dan aku. Cukup kita berempat saja. Tak perlu yang lain. Kita tinggal di pedesaan yang jauh dari keramaian. Kita pergi dari orang-orang yang selalu saja membuat ibu menangis. Aku sudah tak kuat melihat ibu selalu menagis.” Tanpa aku sadari air mataku tertahan di pelupuk mata. Setelah aku melihat mata ibu yang sedang menatapku air mata ku akhirnya turun dengan deras.

Sejenak ibu memandangku dengan mata lelahnya. Ibu menahan tangisannya beberapas saat. Dan

PLAK!!
 Tangannya meluncur di bibi kiriku. Aku tak marah atas perlakuan ibu padaku. Karena aku sadar aku sudah kelewatan batas. Walau ibu telah menamparku aku tetap melanjutkan uneg-unekku. Karena aku pikir ini sudah terlanjur aku lontarkan. “Aku tak perduli walau ibu menaparku berribu-ribu kali asal ibu setuju kita meninggalkan rumah ini. Rumah yang selalu membuat penderitaan pada kita.

PLAK !!
Tangannya meluncur di bibi kiriku untuk kedua kalinya. “Apa kamu sadar ada yang telah katakan? Ibu mohon padamu untuk tidak mengatakan hal yang seperti itu lagi. Ini sudah menjadi tanggung jawab ibu.” Akhirnya ibu mengeluarkan kata. Akhirnya kami berdua bertengkar. Sungguh aku tak ingin menjadi anak yang durhaka. Kesabaranku sudah habis. Aku ingin mengakhiri kisah ini.

Tanggung jawab? Lalu dimana tanggung jawab ibu untuk menjadi seorang istri dan seorang ibu? Apakah aku dan ayah tidak termasuk ke dalam tanggung jawab ibu? Atau ibu lupa, ibu mempunyai seorang suami dan anak?” Maaf aku melakukan ini karena aku sangat menyayagi ibu dan ayah. Kali ini ibu diam dalam lamunannya. Ini membuat hatiku semakin sakit melihat ibu seperti ini. Tapia pa yang harus aku lakukan. Aku sudah tak kuat menjalani ini semua. Aku ingin segera mengakhiri ini semua. “Apakah ibu lupa ayah sempat melontarkan kata ‘pisah’ pada ibu? Apa ibu tau mengapa ayah mengatakan hal itu? Itu karena ayah sangat saying pada ibu. Ayah sudah tak tahan melihat ibu terus terpuruk. Apa ibu tak pernah memikirkan bagaimana perasaan ayah? Aku tidak berpihak pada saiapapun. Aku saying pada kalian. Jadi tolong ibu jagan hanya memikirkan orang yang sama sekali tak pernah perdulu pada ibu.” Ibu akhirnya mengeluarkan air mata yang sangat deras. Dan kali ini bibirnya benar-benar berdarah karena ibu menggigitnya sekuat tenaga.

BERSAMBUNG...
@dinahaqf